MISIONARI DUA JOHAN SCHWARZ, RIEDEL DAN HELLENDOORN

By David DS Lumoindong

Hari Penginjilan Minahasa

Kemarin Tanggal 12 Juni 2020 GMIM merayakan Hari Penginjilan bertepatan 189 Tahun tibanya 2 Johann 2 tokoh misionary JF RIEDEL dan JG Schwarz keduanya berkebangsaan Jerman, tepatnya tanggal 12 Juni 1831.

Kekristenan secara sistematis diperkenalkan di Minahasa oleh Hellendoorn, Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwartz,

Dua Johann keduanya dianggap menjadi peletak dasar penginjilan yang efektif di Minahasa, tapi peran Hellendoorn sangat besar dalam keberhasilan dua Johann.

Misionary yang sebelum datang ke Indonesia dididik di Belanda dan dikirim oleh lembaga Kristen di Belanda bukan oleh VOC, tetapi NZG (Nederlansdch Zendeling Genootschap) atau The Netherlands Missionary Society, Badan Misi di Belanda. yang tidak datang atas usaha VOC atau bersama dengan VOC, NZG tidak ada kaitannya dengan VOC. Sebab VOC tidak mempedulikan penginjilan, mereka utamakan perdagangan. Belanda memiliki prinsip penegakkan hukum, kebebasan menganurkan keagamaan tanpa ada paksaan. Bahkan kecenderungan VOC dan Belanda tidak mendukung para misionary, itu sebabnya 350 tahun Belanda di Indonesia tidak membuat mayoritas Kristen di Indonesia. Sebaliknya justru ada larangan misionary memasuki suatu daerah demi mempertahankan budaya, demi bisnis wisata pemasukan devisa negara.

NZG (misi misionaris di negeri Belanda) masuk ke Indonesia tahun mulai tahun 1814 pada masa pendudukan Inggris. Anggota misi penginjilan tidak semua orang Belanda, tetapi dari berbagai negara, yang dididik oleh NZG Belanda. Mereka yang dikirim ke Indonesia oleh NZG antara lain Ludwig Ingwer Nommensen (1814) ditempatkan di Batak; Johann Gottlieb Schwarz (1831) dan Johann Friedrich Riedel (1831) ditugaskan di Minahasa; Ernts Traugott Steller di Manganitu-Sangihe dan Carl Joachim Michael Ludwig Schroder di Tabukan-Sangihe (1857), Johann Friederich Kelling di Ondong-Siau dan Tagulandang (1857), August Grohe di Ulu-Siau (1857) lalu dipindahlan ke Tamako-Sangihe, semuanya berasal dari Jerman, kecuali Joseph Kam (1814) yang dianggap rasul Maluku berasal dari Belanda. Mereka diutus oleh NZG dengan “modal” ora et labora (bekerja dan berdoa). Bekerja bukan dalam arti beraktivitas secara fisik, tetapi percaya dan mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi.

Mengapa harus para penginjil Jerman atau negara lainnya yang lebih banyak dikirim ke pelosok-pelosok, karena orang Belanda tidak diterima oleh masyarakat, terutama masyarakat yang ada di pedesaan.

Kedua penginjil dari lembaga NZG dari Belanda, Johann Friederich Riedel (1798-1860) dan Johann Gottlieb Schwarz (1800-1859), tiba di Manado.

Keduanya dijemput oleh pastor (pdt) Ds. G.J. Helendoorn kemudian diantar berkeliling melihat keadaan Minahasa. Sesudah itu Riedel memilih Tondano kota tepi danau Tondano sedangkan Schwarz memilih Langowan kota di dekat gunung Soputan sebagai pos penginjilan.

Minahasa memiliki agama lokal yang penganutnya di pin para pemimpin agama suku disebut sebagai Walian. Namun setelah Kekristenan masuk ke Minahasa, maka Kekristenan dan budaya Minahasa tidak dapat dipisahkan sebagai indentitas.

Pada 1817, Joseph Kam, yang biasa disebut Rasul bagi Ambon mengadakan perjalanan inspeksi ke Minahasa yang dilanjutkan dengan inspeksi kedua pada tahun 1819. Kemudian pada 1821, Joseph Kam mengirim dua missionaris yang langsung meninggal dunia tidak lama setelah tiba di Minahasa.

Hellendoorn Tokoh Pendidikan

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1827, G. J. Hellendoorn dikirim oleh Kam untuk melayani di Manado. Tugas pertama yang dia lakukan adalah untuk melayani jemaat kecil warga asal Eropa. Namun Hellendoorn digerakkan oleh Tuhan untuk melayani penduduk asli yang sudah beragama Kristen. Hellendoorn tokoh yang berhasil membantu sekolah di Minahasa beliau banyak melayani pelayanan membuka sekola untuk pendidikan penduduk setempat, yang mana mereka-mereka inilah yang nantinya menjadi para pendiri sekolah di Minahasa. Sekolah-sekolah ini adalah pendidikan yang diorientasikan terhadap kegiatan keagamaan. Pada 1832, Hellendoorn telah mengurus sekitar 20’an sekolah yang mendidik 700 murid. Ketika Hellendoorn meninggal dunia pada 1939, badan Misi Minahasa mengurus 56 sekolah dengan 4000 murid. Pelayanan Hellendoorn lebih menggunakan jalur pemuridan ketimbang pembaptisan Kristen. Meskipun Hellendorn lebih terfokus untuk melayani di Manado, dia mendesak jikalau Joseph Kam mengirim missionaris lagi, seharusnya missionaris tersebut lebih terfokus kepada wilayah yang belum terjangkau, pedalaman Minahasa.

Atas penyertaan Tuhan, masukan dari Hellendoorn diterima baik oleh Joseph Kam. Ketika 1831, Joseph Kam mengirim dua missionaris asal Jerman: Johann Freidrich Riedel yang memulai pelayanan di Tondano; bersama Johann Gottlob Schwarz yang melayani di Langowan yang tidak terlalu jauh dari Tondano.

Johann Gottlieb Schwarz lahir pada 21 April 1800 di Konigsbergen, wilayah Jerman sebelah Timur yang sekarang ini sudah memasuki teritori negara Rusia yang disebut Kaliningrat. Ayahnya adalah seorang pembuat sepatu yang memiliki kehidupan yang sangat spiritual. Kehidupan ayahnya ini yang mempengaruhi Schwartz ketika masih muda. Tiada hari tanpa membaca Alkitab. Dia sangat tertarik dengan cerita-cerita para Zendeling di berjuang di tengah-tengah budaya dan agama asing, tetapi sama sekali dia tidak pernah punya ketertarikan menjadi seorang diantara para zendeling.Namun pada 1821, dia mendengar informasi tentang pembukaan Zendeling Institute yang siap untuk mendidik para penginjil di kota Berlin. Schwartz mulai berhasrat untuk menjadi seorang zendeling. Ternyata hasrat tersebut merupakan jawaban doa dari para orang tua yang memohon agar anak mereka dipakai oleh Tuhan. Pada 31 Agustus 1821, Schwartz tiba di Berlin. Sambil menunggu Zendeling Institute yang dibuka pada 1 Mei 1822, dia bekerja sebagai pembuat sepatu. Di sinilah dia bertemu dengan Johann Frederik Riedel yang akan menjadi teman seperjuangan di Minahasa. Mereka berdua belajar ilmu eksakta, bahasa Inggris, Latin, Yunani, Ibrani, dogmatika, homilitika, musik, melukis, pastoral praktis bahkan memasak sampai tahun 1825 di instutut tersebut.

Oleh NZG Schwartz diminta untuk mengupayakan pendidikan bagi tenaga-tenaga pribumi untuk memberitakan Injil. Bukan dengan cara menyebarluaskan perbedaan konvensi, melainkan ‘kekristenan dalam hati’. Salah satu hal pokok yang ditekankan NZG adalah mengenai pembaptisan. Ketulusan dan keyakinan seorang calon baptisan harus menjadi kriteria utama dalam pembaptisan yang akan dilaksanakan oleh Schwarz.

Dalam melaksanakan tugas memberitakan Injil, Schwarz memakai metode yang sangat sederhana. Ia menggunakan kata-kata yang hidup dalam masyarakat tanpa bentuk-bentuk tertentu, tanpa catatan dan tanpa buku-buku. Ia mengajarkan Injil melalui bahasa yang bisa dipahami masyarakat setempat, dan karena pembawaannya yang ramah ia mampu mengadakan pendekatan pada mereka.

Setelah beberapa tahun di ladang misi, Schwarz mulai melirik pembangunan sekolah. Untuk mewujudkan hal ini, ia mengajak jemaat untuk membangun sekolah Kristen dan sekolah Alifuru khusus bagi yang belum menerima Injil. Rencana ini terwujud dengan baik berkat kerja sama dengan pemerintah waktu itu. Di kemudian hari sekolah Alifuru berubah menjadi sekolah zending. Dari situlah cahaya penginjilan bersinar sehingga para orangtua turut mengikutinya.

Pada tahun 1839, Schwarz menikah dengan Constans yang belakangan banyak membantunya dalam mempelajari bahasa Minahasa. Selain melayani di daerah tempat tinggalnya di Langoan, ia juga sering memberitakan Injil ke daerah-daerah lain, mendirikan sekolah, mengajar keterampilan dan kesehatan. Selain ke Manado, Kema dan Likupang bagian Utara, ia juga sampai ke pesisir Selatan seperti Belang Ratahan. Di mana-mana ia berusaha mendirikan sekolah. Walau ia tidak terlalu pandai mengatur organisasi, tetapi ia memiliki jiwa yang besar dalam misi pelayanannya. Ia mengembara tidak henti-hentinya. Schwarz begitu sibuk dan selalu memikirkan pembentukan jemaat serta kebutuhannya termasuk gedung sekolah dan gereja, penataan dan penyusunan peraturan jemaat.

Schwarz dan Reidel adalah dua orang pelopor yang meletakkan dasar yang cukup kuat bagi jemaat-jemaat di Minahasa. Dalam 10 tahun pertama pelayanan mereka, sekalipun Reidel lebih berhasil dalam jumlah membaptis orang, namun dalam mendirikan jemaat dan sekolah termasuk luasnya wilayah pelayanan Schwarz jauh melebihi pelayanan Reidel. Inilah hal yang paling menonjol dalam pelayanan Schwarz di samping keberhasilannya mengajarkan keterampilan teknik pertukangan, pertanian, kesehatan, dan membangun peradaban yang baik di Tanah Minahasa.

Johann Friedrich Riedel dengan istrinya (asal Haruku) tiba di Manado tanggal 12 Juni 1831. Bersama Residen Manado dan Ds. Gerrit Jan Hellendoorn mereka mengelilingi Minahasa untuk menentukan “pusat stasiun agama Protestan.” Pilihan jatuh di Tondano. Saat itu penduduk Tondano berjumlah empat ribu jiwa. Kota Tondano adalah pos pertama di Minahasa. J.F. Riedel masih berdiam di Manado selama tiga bulan untuk mempelajari bahasa Tondano, sebelum ia menempati posnya pada tanggal 14 Oktober 1831. Kepala Walak Tondano-Touliang saat itu adalah Boeng Dirk Ratumbuijsang, istri P. Walalangi. Nicolaus Philipp Wilken dari Tomohon saat itu mengatakan: “… dalam tahun 1838 Kepala Walak Tondano sudah menjadi Kristen, yang turut memajukan serta merasa penting keagamaan Kristen. Karena kepala-kepala walak besar pengaruhnya dalam masyarakat, maka usaha mereka sangat membantu pekerjaan Zending. Mereka membangunkan yang lain-lain untuk menjadi seorang Kristen serta mengajarkan pula, sebisa mereka, tanpa diketahui zendeling. Rakyatpun datang dan tanpa banyak kesulitan dapat ditahbiskan …

Sumber:

  • Jan Aritonang, A History of Christianity in Indonesia (Leiden: Brill, 2008).

Tinggalkan komentar