Sejarah Tombulu

By David DS Lumoindong.

 

Sejarah Tombulu tidak lepas dari sejarah Malesung abad 8 Sebelum Masehi. Para pemimpin yang pernah memerintah di bagi dalam 6 periode yaitu

  1. Era Prasejarah
  2. Periode awal Malesung Kuno, sebelum Toar dan Lumimuut.
  3. Periode Malesung II Makarua-siow. Sesudah kepemimpinan Toar Lumimuut,
  4. Periode Malesung III, sesudah musyawarah Pinawetengan abad 1 M.
  5. Periode Minaesa (Minahasa Lama) sejak Pingkan Matindas 1450 M sampai 1660,
  6. Periode Minahasa Baru tahun 1990 ~1956.
  7. Periode Minahasa Moderen tahun 1957 sampai kini 2021. (Era sesudah perjuangan Otonomi daerah Permesta)

 

By David DS Lumoindong

Sejarah wilayah Tombulu dan Kota Tomohon (Tou Mu’ung) tidak lepas dari Sejarah Malesung dan Minahasa, dalam penelitian David DS Lumoindong menulis dimulai sekitar abad 8 Masehi atau tahun 750 SM. Kedatangan migrasi kedua dari Asia Timur, yaitu bangsa Tagaroa (J. Rahasia) yang di istilahkan para ahli disebut Austronesia bangsa Malesung dari Pilipina utara menyusuri Mindanau kemudian terus ke pulau Sulawesi, awalnya pemukiman di sekitar pantai Tanawangko kemudian berpindah ke sekitar gunung Lokon.

Sebelum kedatangan migrasi Austronesia sudah ada terlebih dahulu kelompok Austromelanesia di sekitar danau sebelah selatan Tondano (Paso kecamatan Kakas dan Sinuian Kecamatan Remboken), kedua kelompok bangsa ini terjadi perkawinan antara keluarga pemimpin dan masyarakat. Pada masa kemudian kedua kelompok ini yang menyatu menjadi satu Kerajaan yang disebut Malesung. Dalam hikayat pernah disebutkan Raja Sumaraniw di wilayah selatan Makatembo (wilayah selatan Tomohon adalah Kakas dan Remboken tepi danau Tondano).

Bangsa Malesung di Tomohon sekitar 655 SM kemudian pindah ke wilayah selatan yaitu Nietakan di Wulur Mahatus, di Tompaso baru, lalu kembali lagi ke sekitar gunung Lokon sekitar tahun 500 SM, kemudian setelah Musyawarah di Tonderukan mendiami Majesu. Kemudian membangun komunitas yang disebut TowMajesu dan Tombulu. Pemerintahan bangsa Malesung di Tomohon mengalami berubahan sistem dari sistem Makarua-siow (monarki) yaitu pemerintahan keluarga hanya diwariskan dari keturunan Makarua-siow (bangsawan) menjadi sistem republik yang dipilih oleh rakyat.

Bangsa Malesung kelompok Makatembo di Tondano juga berpindah ke selatan di Nietakan, lalu dimasa selanjutnya terus menjelajahi wilayah selatan. (Baca Sejarah Sulawesi Utara dan Sejarah Malesung, juga Sejarah Minahasa oleh David DS Lumoindong).

Lokon menurut Graafland berarti tempat kediaman para dewa, kasendukan. Lokon bersama-sama puncak-puncak yang mengarah ke pantai, Tatawiran dan Kesehe disebut Se Lo­kon Telu, ketiga Lokon itu, tempat yang bermakna sakral dan sangat dihormati.

Wilayah Tomohon pernah menjadi pusat pemerintahan era kerajaan Malesung dan era negara demokrasi. Negeri yang pernah menjadi ibukota negara sesudah era Makarua-siow yaitu sistem demokrasi Walak Tombulu adalah MAYESU, KINILOW, KALI, LOTTA. Sejak musyawarah di Pinawetengan maka Walak Tombulu telah menjadikan beberapa negeri sebagai pusat pemerintahan, pertama kali di mulai di Majesu. Kinilow dan Kali menjadi pusat pemerintahan bangsa Tombulu. KInilow dan Kali menjadi Ibukota pemerintahan pakasaan Tombulu setelah menjadi beberapa walak.

Penemuan benda tinggalan arkeologi berupa batu Pasuwengan di Bukit Inspirasi (UKIT) Tomohon, serta goa Rumengan dan Makawalang menunjukkan hikayat Tombulu banyak tinggalan keberadaan Toar-Lumimuut anak-anaknya di kawasan Tomohon.

Kisah pemburu menemukan sumber mata air. Ketika tombaknya dicabut, menyembur air deras dengan bunyi mendengung yang kemudian mencetus kata Muung, mengundang orang datang bermukim. Penduduknya membahasakan diri sebagai Tou (orang) Muung yang di masa berikutnya dikenal sebagai Tomohon.

Sang pemburu adalah dotu bernama Wawo Kumiwel, anak leluhur Minahasa pertama Toar dan Lumimuut.

Sekitar abad 5 SM Tomohon di masa Kumiwel, Pinontoan dan Rumengan, jadi jauh sebelum peristiwa pembagian di Watu Pinawetengan abad 1 SM atau ditaksir penulis terkenal Dr.Johan Gerard Friedrich Riedel terjadi tahun 670 (meski ada menaksir berbeda-beda pula), tetap saja penemuan mata airnya masih mendahului, sehingga menjadikan Tomohon sebagai kota kuno yang ada di Tanah Minahasa.

Wawo Kumiwel yang disebut juga Rumuat ne Tewo bersama istrinya berdiam di Wawo dan juga Kuranga. Berikutnya, Pinontoan yang diagungkan sebagai penguasa Lokon bersama istrinya Ambilingan Wulawan bermukim di kaki gunung itu, Rumengan yang didewakan sebagai penguasa Mahawu bersama istrinya Katiwiei, tinggal di lembah gunungnya.

Lololing dengan istrinya Winerotan, bermukim di Muung, Repi dan istrinya Matinontang dan Tontombene di Lahendong, Siow Kurur di Pinaras. Makalawang dan istrinya Taretinimbang di lembah Masarang dan Manaronsong yang mencetuskan nama Sarongsong.

Era Reformasi Makarua-siow

Keturunan Pinontoan dan Repi, Lololing, Siow Kurur, Makawalang memperjuangkan bersama yang lain melawan tindakan sewenang-wenang bangsawan (Makarua-siow) Pemerintahan Kerajaan Malesung di masa kepemimpinan Mahawetik dan Meikalalo. Tindakan pemerntahan yang memimpin dengan sewenang-wenangan perbudakan dan pemerasan penghasilan rakyat. Tanpa mempedulikan kesengsaraan masyarakat.  Pergerakan rakyat berlanjut menjadi perang melawan kaum elit, menelan banyak korban bukan hanya dari pihak pemimpin Kerajaan tapi dari rakyat, kemudian di antara di antara para pemimpin perlawanan juga terjadi ketidak kesepakatan sehingga perang ber larut-larut akhirnya untuk meredakan peperangan maka diadakan musyawarah perdamaian di Pinawetengan.

Setelah Musyawarah maka disepakati berdirinya 3 Pemerintahan Walak / Pakasaan (Republik kuno) di utara terdiri atas Pakasaan Tombulu, Tompakewa, Tonsea. Wilayah selatan tidak mau mengikuti musywarah karena mempertahankan Kerajaan Malesung yang dipimpin Meikalalo sedangkan wilayah Utara terdiri atas 3 Pakasaan.

Sekitar tahun 100 SM Tonaas Muntu-Untu dan Mapunpun mendirikan dan memimpin Pemerintahan Negara Pakasaan Tombulu. Hasil musyawarah di Pinawetengan.

Pemindahan Pusat Pemerintahan Tombulu

Tomwulu/Tombulu dengan menjadikan Mayesu sebagai ibukota negara. Pada era Lumoindong pusat pemerintahan dipindahkan ke Kinilow.

Kolano Walian Wangko Lumoindong

Menjadi Kepala Pakasaan Kakaskasen adalah cucu Tonaas Wangko Pukul. Pada masanya terjadi wabah penyakit berbahaya yang menyebabkan banyak rakyat meninggal.

Masyarakat alami ketakutan dengan wabah ini, maka beberapa kelompok yang mau mengungsi di ungsikan di pimpin para putranya.

Setelah pemulihan masyarakat pasca wabah penyakit maka sekitar tahun 1440 M, Kolano Lumoindong mulai memperkuat membangun pertahanan Tombulu dengan menempatkan pengawas wilayah perairan bagian barat laut Sulawesi sebab hadapi ancaman armada pasukan asing dan bajak laut. Tombariri di bangun dengan menempatkan Putranya bernama Kaawoan membangun Negeri yang awalnya bernama Tombariri (masa ini Matindas diam di tepi pantai Tombariri),  sedangkan di wilayah selatan dibangun pertahanan dengan menempatkan putranya bernama Mokoagow diwilayah disebut Muung (Tomohon) dan Tumbelwoto di Sarongsong. Kaawoan berangkat dari Maiesu (Meyesu) dengan rombongannya menuju ke barat melalui Sarongsong.
Tidak jauh dari negeri tua Sarongsong di Tulau, ia bersama keluarga dan pengikutnya membangun pemukiman pertama di tempat yang banyak ditumbuhi rumput wariri. Itulah sebabnya mereka menyebut diri dan tempatnya sebagai Touwariri, lalu kemudian Tombariri.

Tonaas Lumoindong kemudian mendapatkan cara untuk memberantas wabah penyakit sampar, sehingga wabah penyakit berhenti dengan pengobatan herbal.
Beberapa waktu setelah Kaawoan meninggal, Tombariri diperintah Tonaas Pasiowan, dan di masanya pengayauan merajalela. Maka, diundang Tonaas Lokon Mangundap, jagoan terkenal dari Kakaskasen. Lokon pindah ke Tombariri dan mengalahkan para penjahat sehingga Tombariri menjadi aman kembali.

Lokon menjadi terkenal sehingga namanya sehingga kemudian ia diangkat mengepalai pasukan menjaga keamanan di pesisir pantai Minahasa.

ia dapat memberantas para pengayau bernama Zakian dan Zaziha dari Bantik yang merajalela di Mandolang (sekarang Buloh-Tateli Weru, Kecamatan Pineleng Minahasa). Kejadiannya ditaksir terjadi di tahun 1480-an.

Dikisahkan, Lokon Mangundap dan pengikutnya berhasil mengalahkan para pengayau dengan membuat boneka kayu Kayapu menyaru rupa mereka. Saat malam, ketika ditusuk, senjata penyamun tidak dapat ditarik kembali. Kemudian, dari balik persembunyian mereka balas menyergap, lalu memenggal kepala-kepala pengayau.

Sebutan Woloan sendiri tercetus di masa Lokon Mangundap pula. Ketika pulang dari Mandolang, kepala Zakian dan Zaziha dibawa ke Tombariri untuk dipamerkan. Tapi, saat mereka singgah di mata air dan membuka daun pisang pembungkus kepala Zakian dan Zaziha, seluruh paras mukanya telah dipenuhi oleh mahreput atau kalumpang yang disebut Wolo atau Molon, maka tempat itu dinamai Woloan, termasuk mataairnya. Takut terjangkit, mereka mandi, dan segera segar-bugar, sehingga mata airnya dipercaya hingga saat ini berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Asal nama Woloan pun dikaitkan dari jenis pohon Wolo yang tumbuh di mataair tersebut.

Tonaas Lokon Mangundap kemudian menjadi Kepala Pakasaan Tombariri yang membuat Tombariri menjadi sangat kuat dan ditakuti oleh para bajak laut sehingga menjadi sangat termasyur di beberapa masa bahkan tokoh lain selanjutnya adalah Tonaas Supit SahirSahiri yang memimpin perang melawan Spanyol.

Tonaas Lokon kemungkinan tokoh yang akhirnya terkenal berdiam di Pulau Manado Tua sebagai benteng penjagaan, ia mempersatukan para pelaut Babontehu dalam menjaga wilayah tersebut dari bajak laut, masa kini masyarakat menyebutnya Kolano Lokon atau Lokon banua.

Ibukota Balak Tombariri

Tombariri di Katingolan-Woloan menjadi negeri maju di tanah Minahasa ketika itu. Pater Blas Palomino mencatatnya di tahun 1619, begitu pula Gubernur Belanda Dr.Robertus Padtbrugge 1682. Namanya ditulis Tombar dan Tomberrie, dengan posisi masih berada di lokasi Katingolan seperti tampak pada peta masa Padtbrugge. Jumlah penduduknya sebanyak 400 awu (kepala keluarga), atau sekitar 2.000 jiwa.

Dari Tombariri Katingolan terkenal kepalanya Pacat Supit Sahiri Macex yang jadi tokoh sentral di Minahasa akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, bertanda dalam Perjanjian 10 Januari 1679 serta 10 September 1699. Gelarannya adalah Hoofd Hoecums Majoor, selain itu sebagai Kepala Balak Tombariri dan Kepala Balak Tondano.

Supit mangkat bulan Maret 1738 dan diwarugakan di Katingolan. Penggantinya adalah anaknya bernama Mongi. Namun, ketika Mongi diganti saudaranya Tinangon, ibukota Tombariri di Katingolan dibawanya pindah ke Lolah (kini Nimawanua, Lolah Tua)

Kelak, dari Lolah, tahun 1793 Belanda memindahkan ibukota Tombariri ke Tanawangko, setelah sebelumnya Tinangon melakukan perlawanan gara-gara permintaannya agar dibuat jalan dari Tomohon tidak dipenuhi. Tinangon merajuk dengan memerintahkan penduduk mempersenjatai diri dan memperkuat benteng buluh tui yang mengelilingi Lolah Tua (kini masih ada sisa-sisanya).

Kompeni Belanda menyiasati penduduk Lolah dengan menembakkan meriam yang sengaja telah ditaruh uang ringgit. Tentu saja, buluh-buluh tui tersebut ditebang penduduk yang mencari uang ringgit itu.

Mayoor Tinangon lalu diganti sebagai Kepala Balak Tombariri di Tanawangko oleh keponakannya Rengkung, putra Mongi yang bermantukan Herman Carl Waworuntu, Kepala Balak Sarongsong.

Katingolan kemudian tinggal sebagai negeri biasa, diperintah para hukum. Dua hukum yang dikenal adalah Hukum Maweykere, yang waruganya bertarik 26 Mei 1779. Kemudian Hukum Pangemanan di tahun 1808.

Bekas kota pertama Tombariri di Katingolan ditinggalkan, ketika terjadi gempa bumi kebat tanggal 8 Februari 1845 yang menghancurkan pemukiman penduduk, serta menelan korban jiwa. Menurut satu kisah yang dikaitkan dengan letusan Gunung Lokon, terjadi tanah goyang selama sembilan hari sembilan malam.

Pemimpin Woloan ketika itu adalah Tonaas Rumondor, Walian Pontoh, Putoosan Kapoh, Teterusan Makal dan Teterusan Karamoi bersepakat memindahkan negeri ke tempat aman di bagian selatan.

Tombariri yang semula hanya meliputi Katinggolan dan sebelah selatan sungai Ranowangko hingga pantai barat liwat pegunungan Manembo-nembo, ditambahinya dengan wilayah yang diambil dari Bantik, yakni sebelah utara sungai Ranowangko, meliputi gugusan dari gunung-gunung: Lokon, Kasehe, Tatawiren hingga di tepi pantai sebelah barat. Ia pun memindahkan ibukota Tombariri dari Tombariri di dekat Sarongsong ke lokasi Katingolan yang memiliki mataair terkenal bernama Woloan.

Sumber :

Graafland, N. 1874, Inilah Kitab Deri Hal Tanah Minahasa.
Dr.J.F.G.Riedel‘’Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan itu’’ 1862,    
Paulus Lumoindong,  Etimology Minahasa.
buku Ibrahim Palit ‘’Sejarah Manusia Pertama Minahasa’’ 1980,
Nicolaas Graafland (terjemahan Yoost Kullit), ‘’Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini’’ 1987,  H.M.Taulu’’Sebingkah Sejarah Perang Minahasa-Spanjol’’ 1966.  
David DS Lumoindong, Sejarah Lengkap Minahasa,   
David DS Lumoindong, Sejarah Kedatuan Malesung.
David DS Lumoindong, Sejarah Sulawesi Utara.
David DS Lumoindong, Arkeologi dan Sejarah Sulawesi Utara,   
David DS Lumoindong, Sejarah Tomohon.
Pinasungkudon, Minahasa  
Palantung, E.R.T. Sejarah Pineleng, ketikan,
Taulu, H.M., Sejarah Minahasa, 1955.
Watuseke, F.S., Sejarah Minahasa, 1962.
W.Palit. Sejarah Minahasa.
Pinasungkudon,  Minahasa 
Kojongian, A., Riwayatmu Tomohon, 1986.
Tomohon Kotaku, 2006.  W.Palit. Sejarah Minahasa.
Sejarah Perkembangan Kelurahan Taratara Dua Kecamatan Tomohon Barat Kota Tomohon Tahun 1978-2014 Jurnal Skripsi  Oleh : Prity V. Gagalang, 2015.
Kojongian, Adrianus. 2006. Tomohon Kotaku. 
Tomohon: Dinas Pendidikan Kota Tomohon. MacAndrews. 1993. 
Hubungan Pusat ± Daerah Dalam Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moertjipto. dkk. 2002.
Parengkuan, F.E.W. dkk. 2010. “ Desa Tolok Dalam Lintasan Sejarah Minahasa” (Penelitian). Manado: Universitas Sam Ratulangi. 
Wowor, Meity. 1993. Sejarah Pemerintahan Kecamatan Tomohon 1945-1990. (Skripsi). Manado: Fakultas Sastra Unsrat.

https://www.malesung.wordpress.com/Penulis David DS Lumoindong.
https://www.arkeologisejarah.wordpress.com/Penulis David DS Lumoindong
https://www.publikreport.com/lotta-duladrianuskojongian.blogsport.com
www.adrianuskojongian.blogspot.com ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’;  

Tinggalkan komentar